Popular Post

Popular Posts

Jumat, 18 Maret 2016

#WayToDie: Main
“bu, apakah ibu membelikan es krim yang aku pesan?” tanya Genta saat melihat ibunya memasuki dapur, ketika memasuki dapur ibunya membawa tiga buah kantong plastik berwarna putih. Sebuah kalender tergantung di dinding dapur, angka “dua” yang berukuran cukup besar terpampang bertanda awal bulan. Hari itu ibunda Genta memang baru saja membeli keperluan bulanan mereka, sedangkan Genta dan adiknya Tri menunggu di rumah. Genta adalah anak laki-laki berumur sepuluh tahun, sedangkan adiknya baru berusia enam tahun.
“pasti dong, mana mungkin ibu lupa.” Ibunda Genta tersenyum seraya melirik anaknya. “asik, dimana bu es krimnya? Biar aku taruh di lemari es.” Genta merayu seraya menoleh ke adiknya. Mereka saling melempar tatapan dan senyuman nakal, ada sebuah rencana di kepala mereka. “es krimnya di kantong plastik yang di atas meja makan, ibu masukin kotak. Sebelum dimasukin ke lemari es, kamu buang dulu kotaknya ya Genta.” Ibunya berkata tanpa menoleh ke arah Genta. “baik bu.” Tutup Genta. Tanpa banyak bicara lagi Genta menarik adiknya menuju meja makan, mereka segera mengeluar es krim dari kantong plastik yang cukup besar. Genta-lah yang bertugas memindahkan sekotak es krim ke dalam lemari es, ia sempat melirik ke arah adiknya seperti memberi sebuah aba-aba. Tri segera berlari keluar dengan cepat tanpa sepengetahuan ibunya, dan ketika Tri sudah menghilang, Genta pun menyusul. Rencana mereka berhasil, ibunda Genta dan Tri tidak tahu mereka membawa kotak yang ia gunakan untuk membawa es krim. Sesungguhnya bukanlah kotak itu yang menarik perhatian kedua kakak beradik ini, tapi isinya-lah yang menarik perhatian mereka.
Genta berlari ke teras, dimana Tri sudah menunggunya. Ia memegang kotak yang cukup besar, dan tersenyum ke arah kakaknya. Alih-alih menghampiri adiknya, Genta malah berlari ke sisi rumah. Ia mengambil sebuah baskom plastik yang sudah tidak lagi terpakai, dan ia mengisi air ke dalam baskom itu. setelah air yang ia isi dirasa cukup, Genta membawa baskom berisi air itu ke Tri yang menunggu di teras rumah. “nih airnya, yuk sekarang kita main.” Ujar Genta dengan nada riang gembira. Tri memasukan tangannya ke dalam kotak, ia merogoh-rogoh selama beberapa saat. Hingga akhirnya ia mengangkat tangannya, ia menggenggam sesuatu. Sesuatu yang membuat mereka terlihat sangat gembira, sesuatu yang biasa mereka mainkan saat ibu mereka membelikan es krim. Tri memegang sebuah benda berwarna putih pucat, dan berbentuk persegi panjang yang cukup besar. Tri sepertinya mengalami kesulitan saat memegang benda itu, beberapa kali ia mengganti tangannya. Ia merasakan sensasi dingin dan kesemutan di saat yang sama, tetapi lama kelamaan ia merasa seperti terbakar. Dengan cepat ia memberikannya kepada Genta, dan setelah menerimanya. Genta mengangkat tangannya dan menjatuhkan benda itu hingga pecah menjadi beberapa bagian, ia mengumpulkan pecahan-pecahannya. Dua buah pecahan besar, dan beberapa yang kecil. Genta memberikan salah satu pecahan yang berukuran besar kepada Tri, ia sangat senang menerimanya. Sesaat setelah ia menerima benda itu, ia menaruhnya ke dalam baskom berisi air, ketika benda itu menyentuh air. Benda itu menghasilkan gelembung-gelembung putih yang ketika terpecah menghasilkan kabut. Tri sangat senang melihat itu, beberapa kali ia meniup uap yang keluar dari dalam air. Ia tersenyum, “asik ya kak kalo main biang es.” Ujarnya.
Sedangkan Genta hanya memegang-megang biang es bagiannya, ia bosan memainkannya dengan air. Ia sedang memikirkan cara baru, tapi ia tidak juga menemukannya. Lama kelamaan Genta merasakan bosan, ia agak iri dengan adiknya yang terlihat sangat bersenang-senang. Ide usilnya muncul tiba-tiba, ia menempelkan pecahan kecil biang es miliknya ke leher adiknya.
 Ketika biang es itu menyentuh kulit leher Tri, ia menggerakan tangannya untuk menampik biang es yang menempel di lehernya dengan cepat. “sakit kak.” Protes Tri. Tapi Genta semakin senang melihat adiknya yang duduk di depannya marah-marah, saat Tri berbalik badan. Ia kembali menempelkan biang es itu, dan seketika itu kembali ditepis oleh Tri. “kakak. Sakit tau.” Nada suara Tri mulai naik, ia sepertinya jengkel oleh ulah Genta. Kemudian ia kembali memainkan kabut di baskom airnya. Genta benar-benar merasa bosan, ia bingung. Sebuah ide muncul di kepalanya, ia mengambil pecahan biang es yang cukup besar, lalu mengigit biang es itu. rasa geli menyeruak di giginya, membuat tubuhnya merinding. Ternyata ia menyukai sensasi itu, ia tertawa-tawa kecil. Tapi Tri sama sekali tidak menghiraukannya, ia masih asik dengan mainannya sendiri. Tapi kemudian Genta kembali menempelkan pecahan biang es yang berukuran kecil ke leher Tri, kesabaran Tri sepertinya sudah habis. Ia menyikut Genta yang duduk di belakangnya dengan keras, dan hantaman siku itu mengenai mulutnya yang sayangnya membuat biang es yang ia gigit terlepas lalu meluncur ke dalam tenggorokan Genta. Seketika itu Genta tersedak karena biang es itu menempel di tenggorokannya, lapisan biang es yang sangat dingin mencengkram kuat dinding tenggorokan Genta.
Genta tersentak ke belakang, tenggorokannya seketika itu terasa tercekik. Ia tidak bisa berbicara, dan hanya bisa meringis menahan rasa sakit hingga menghasilkan suara serak yang putus-putus. Kedua tangannya terus memegangi lehernya, ia berusaha keras menelan biang es itu. tapi sia-sia saja, air liurnya yang mengalir di tenggorokannya justru membuat bias es itu mencengkram lebih kuat dan berubah menjadi gas. Tri kaget mendengar suara serak yang keluar dari mulut kakaknya, dan ketika ia berbalik ia menemukan kakaknya tengah terduduk seraya memegangi lehernya. Tubuh Genta menggelepar tidak terkendali, Tri mencoba menyelamatkan kakaknya. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa, kakaknya sama sekali tidak bisa berbicara. Genta hanya menatap dengan mata terbelalak, dan air mata mengalir pelan-pelan ke pipinya. Bola mata Genta memerah, darah memenuhi bola matanya. Tri mencoba menarik tangannya untuk melihat keadaan leher kakaknya, ketika kedua tangan Genta terlepas. Ia sangat terkejut melihat leher Genta yang sudah biru kehitam-hitaman, dan menggelembung. Beberapa urat-urat saraf di leher Genta mulai terlihat berbayang di kulit lehernya yang menghitam. Tangan Genta meraih-raih ke udara, sepertinya ia butuh pertolongan. Bagaimana tidak, rasa sakit yang luar biasa menyebar ke seluruh tubuhnya. rasa perih dan terbakar. Keringat Genta mengucur deras membuat basah pakaiannya, ia sedang dalam perjuangan antara hidup dan mati. Melihat hal itu Tri semakin ketakutan, tapi ia tidak bisa berpikir apa-apa melihat kakaknya meregang nyawa. Pikiran anak perempuan itu kosong, seluruh tubuhnya gemetaran melihat rasa sakit yang tergambar dari bola mata kakaknya yang sudah dipenuhi darah. Penglihatan Genta sudah mulai buram, ia tidak dapat melihat dengan jelas. Darah segar keluar dan meletup-letup dari  mulutnya, dan membasahi tubuh dan pakaiannya. Sedangkan leher Genta semakin membesar, gas yang keluar dari biang es yang berada di dalam lehernya membuat lehernya terus membesar. Akibat kesulitan menelan, mulut Genta menghasilkan air liur yang semakin banyak. Sayangnya hal ini membuat gas yang keluar dari biang es itu semakin banyak. Leher Genta sudah terlihat sangat besar, kulitnya terlihat semakin menipis karena tidak lagi bisa menahan gas di dalamnya. Seperti balon yang terlalu banyak diisi udara. Tri hanya bisa menggerak-gerakan tubuh kakaknya, dan itu tidak menolong apa-apa. Tangan Genta meremas lengan Tri, ia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya selain batuk akibat darah segar yang mengalir deras dari dalam mulutnya.
Mungkin saat itu Genta bermaksud ingin mengatakan bahwa ia sudah tidak kuat lagi…
Leher Genta sudah berukuran sangat besar, hingga akhirnya kulitnya tidak lagi dapat menahan. Suara ledakan yang cukup kencang memecah kepanikan itu. darah dan potongan kulit menyembur ke udara, dan mengenai Tri yang duduk di hadapan Genta. Leher Genta meledak seperti balon yang ditusuk jarum, ledakan itu memuntahkan darah segar dan serpihan-serpihan kulit leher Genta. Tubuh Tri gemetaran, darah dan serpihan kulit leher Genta pelan-pelan menuruni wajahnya dan menetes ke lantai. Jantung Tri berdetak kencang, dan napasnya tersengal-sengal. Beberapa detik kemudian ia membuka matanya, dan seketika itu ia tersentak ke belakang. Ia menemukan mayat kakaknya sudah terbujur di lantai dengan leher yang hancur, ledakan itu meninggalkan lubang besar di leher Genta. Memperlihatkan kerongkongannya yang hancur berkeping-keping, Tri kemudian menoleh ke lantai. Ia menemukan jakun kakaknya berdenyut-denyut di kubangan darah segar. kabut yang berasal dari gelembung-gelembung biang es yang tenggelam dalam kubangan darah di kerongkongan Genta membuat mayat Genta terlihat sangat artistik, namun sayangnya hal itu membuat Tri berteriak semakin keras. Suara teriakan yang begitu nyaring menggema di teras rumah mereka…

- Copyright © Welcome To Blog Dendy002 - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger -