Popular Post

Popular Posts

Jumat, 18 Maret 2016

#FiksiHorror: Lilin Kecil
“duduklah perlahan.”
“kau bawa kemana aku?”
“diam saja, dan ikutin perintahku.” Kata Nino kepada Sally. Ia memegang erat tangan Sally, menuntunnya memasuki sebuah ruangan. Ia seperti seorang komandan barisan yang memberikan pengarahan untuk melangkah, selangkah demi selangkah. Melangkah dengan mata tertutup memang sulit, itu yang Sally rasakan. Hanya Nino-lah yang dapat ia genggam, ia seakan menumpuhkan seluruh hidupnya kepada Nino. Di dalam kegelapan hanya suara Nino-lah yang menenangkannya, membuang jauh-jauh ketakutannya. Ketika ia mendengar suara itu ia tahu bahwa ia aman, aman dalam genggamannya.
Telapak tangan Nino begitu halus dan hangat. Ia dapat merasakannya, telapak tangan Sally yang dingin merasa nyaman dalam kehangatan itu. hangat yang tidak pernah berubah, hangat yang sama seperti empat tahun yang lalu. Saat Nino memegang tangannya untuk pertama kali, mungkin itu kencan pertama mereka. semua itu terjadi ditahun terakhir pendidikan mereka, dan akhirnya mereka lulus bersama-sama. Waktu itu mereka belum menjadi apa-apa, Nino hanya mentraktir Sally disebuah rumah makan kecil dan dengan menu seadanya. Dua buah lilin menyala diatas meja, menemani mereka. setiap tawa mereka, setiap momen kebahagiaan mereka. mereka memang sangat bahagia, memandang mata satu sama lain dan melihat cahaya keberhasilan. Keberhasilan akademis, keberhasilan kasih sayang. Sally tidak pernah melupakan saat-saat itu, saat mereka belajar terbang. Saat mereka memimpikan sebuah kehidupan yang sempurna untuk mereka berdua, dan mereka siap untuk berjuang dan mewujudkannya. Dua orang menjadi satu, berjuang bersama. Pasti akan berhasil bersama.
Perjuangan mereka ternyata tidak mudah, hingga setahun berlalu Nino tidak juga mendapat pekerjaan. Tapi ia tidak pernah berhenti mencoba, Nino terus berjuang mencari pekerjaan walau tidak jarang Sally melihat tatapan putus asa. Tatapan kelelahan, dan ingin menyerah. Sally tidak tahan melihat itu, ia memegang pipi Nino dengan tangan dinginnya. “Kita pasti bisa.” Lalu sebuah senyuman mengembang di bibir Nino, dan sebuah semangat tergambar di wajahnya. Mereka melanjutkan makan mereka, di rumah makan kecil dan dengan dua buah lilin. Keadaan semakin membaik, Sally diterima bekerja lebih dahulu. Gajinya memang tidak besar, tapi ini bisa jadi awal dari mimpi mereka. tapi ternyata hal itu memperburuk keadaan Nino, ia malah semakin terpuruk. Ia merasa tidak berguna, dan tidak berharga. Nino mulai menghindar, ia merasa malu. Nino menghilang. Sally kebingungan, ia merasa kehilangan harapannya. Tetapi kemudian Sally menemukan Nino sedang duduk sendirian, lengan kemeja yang ia kenakan digulung ke atas. Ia duduk sendirian di sebuah taman sepi, Sally menghampirinya. Ia berlari. Saat melihat Sally datang, Nino berdiri tapi ia masih menundukan kepalanya. tubuh Nino gemetaran, bukan karena kedinginan. Tapi karena ia merasa sangat lelah, dan tersesat. Tersesat tanpa harapan. Sally mendekati Nino hingga mereka berdiri berhadapan, perlahan-lahan ia mengangkat kepala Nino. Ia menyentuh pipi Nino dengan tangan dinginnya, air mata mengalir dan jatuh dari pipinya. Nafasnya tersedak, Sally berusaha keras agar ia tidak menangis. Tapi Nino tahu ia menangis. “Kita pasti bisa”. Nino memeluk erat Sally, seketika itu Nino seperti hidup kembali. Sally meniupkan kembali rohnya ke dalam raganya, Sally membawa kembali cahaya ke dalam jiwanya.
Nino kembali mencari pekerjaan, kali ini dengan harapan yang lebih. Dengan cinta yang lebih. Setelah berusaha keras, akhirnya Nino mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang ia impikan, dan ini adalah kabar gembira untuk Sally. Mereka berdua saling menumpahkan kebahagiaan mereka, kebahagiaan yang memang sudah tidak dapat dibendung. Mereka tidak hentinya tersenyum saat makan malam istimewa mereka, mereka merayakan hal itu. di rumah makan yang sama, dan dengan dua lilin yang menyala.
Setelah itu keadaan mereka semakin membaik, Nino mendapatkan promosi untuk naik jabatan satu tahun kemudian. Kini Nino mempunyai modal yang cukup, mereka siap untuk memulai mimpi-mimpi mereka. tapi kemudian muncul sedikit keraguan di dalam diri Nino, sebuah keraguan yang akhirnya muncul setelah beberapa tahun. Keraguan terhadap Sally. Sally tidak tahu harus melakukan apa, tapi ia tetap menunggu. Apapun keputusan Nino, apapun akhirnya. Sally tidak keberatan jika Nino akhirnya tidak memilihnya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, melihat Nino seperti sekarang saja sudah membuat Sally bahagia. Tapi jauh di dalam hatinya, Sally berharap Nino melamarnya.
Satu minggu yang lalu Nino mengajak Sally untuk liburan, mereka menyewa sebuah rumah di kaki gunung. Pemandangannya bagus, udaranya segar. Semuanya sempurna, tapi Sally tidak dapat memastikan niat Nino. Mungkin ini liburan biasa, tidak ada alasan bagi Sally untuk berharap lebih.
“duduk dan jangan bergerak, sampai nanti ku perintahkan untuk membuka mata.” Kata Nino pelan. sally menuruti perintah Nino. Ia hanya duduk diam, Nino kemudian pergi. Sally agak kebingungan.
“nah, sekarang buka mata.” Sally membuka penutup matanya. Seketika itu air mata Sally mengalir. Sally berada disebuah kamar yang dipenuhi lilin-lilin kecil, cahayanya yang kemerahan adalah satu-satunya penerangan diruangan itu. sally menutupi mulutnya, ia tidak dapat menahan diri melihat semua lilin-lilin cantik yang mengelilinginya. Sally juga kaget melihat sebuah meja kecil yang ada dihadapannya, sebuah meja kecil dengan sepasang piring diatasnya. Dua buah gelas berisi jus jeruk berdiri di dekat piring itu, dan piring itu berisi makanan yang sama dan dari rumah makan kecil yang dulu mereka datangi. Sally benar-benar tidak dapat berkata-kata, kebahagiaan pecah di hatinya. Nino yang duduk dihadapannya memandang Sally seraya tersenyum, ia mengangkat tangannya ke hadapan Sally. Nino memegang sebuah Cincin dengan bongkahan berlian yang terbenam di dalamnya, cincin yang begitu indah. “maukah kau mewujudkan mimpi-mimpiku?” Sally menghembuskan napas panjang, kini air matanya sudah mengalir deras dan tubuhnya gemetaran. Kebahagian sedang merasukinya, dan Nino.
Jauh diluar rumah, terdengar suara ranting patah. Perlahan-lahan semakin keras, semakin mendekat ke rumah itu. di gelapnya malam, dan diantara bayangan-bayangan pohon besar di hutan-hutan kecil ada sesuatu yang bergerak. Semakin lama semakin dekat, hingga akhirnya muncul dua sosok dari semak-semak di sekitar rumah. Dua bayangan hitam yang terus memperhatikan rumah itu, mereka masuk dengan merusak pintu depan rumah tanpa menghasilkan suara sedikti pun.
“kita langsung masuk aja, kita sergap orang yang ada di dalam. Iket, dan kalo perlu habiskan.” Seorang pria berambut ikal panjang berkata kepada sesosok pria yang berjalan mengikutinya, ia menunjukan golok yang ia bawa. Pria yang berada dibelakangnya ikut menunjukan golok yang ia bawa, “gorok aja bos, jangan biarin hidup biar kita aman.” “ide bagus tuh, habisin aja.” Sebuah seringai mengembang dari sosok pria yang dipanggil “bos”. Mereka mulai menyisir seluruh rumah, mereka mencari penghuni rumah untuk dilumpuhkan atau “dihabisi”. Tapi setelah mereka menyisir hampir seluruh kamar di rumah itu, mereka tidak menemukan siapa-siapa. Hingga akhirnya salah satu diantara mereka mendengar suara seseorang sedang bercakap-cakap dan diselingi suara tawa. Ia pun tersenyum senang, ia memberikan isyarat kapada rekannya. Isyarat bahwa ia sudah menemukan target yang dicari, rekannya datang menghampirinya. Mereka berdua berdiri di depan pintu kamar dimana suara itu berasal, mereka mulai mengeluarkan golok mereka dari sarungnya. Golok itu mereka genggam dengan mantap, dan salah satu diantara mereka memberikan perintah. “Habisi mereka, ambil barang-barang berharganya terus pergi. Oke?” rekannya mengangguk tanda mengerti, ia memberikan isyarat untuk mendobrak pintu kamar lalu masuk ke dalam dan bunuh orang yang ada di dalam.
Nino dan Sally tengah duduk berhadapan seraya tersenyum, mereka saling berbicara. Mereka saling mengungkapkan kebahagian mereka, dan rencana-rencana pernikahan mereka nanti. Ditemani lilin-lilin yang memenuhi ruangan, dan sosok diluar siap mendobrak pintu dan menghabisi mereka.
“pas itungan ketiga langsung dobrak pintunya.” Ujar salah satu pria itu. “baik bos.”
“1…2…3…” mereka menendang pintu kamar sekuat tenaga, pintu itu pun tumbang setelah sebelumnya terdengar suara keras.
Nino dan Sally terpekik kaget, mereka menoleh ke arah pintu. Melihat kedua pria itu menghambur ke dalam dengan golok tajam di tangan mereka…
Siap menghabisi, dan menggorok leher mereka….
“ah sial, kita keduluan.” Ujar salah satu pria. Ia merasa sangat kesal, “lu gimana sih cari sasaran, gak beres nih.” Ia menarik kerah anak buahnya. “ampun bos saya juga gak tau.”
Pria itu kesal karena mereka mendapati kamar itu kosong, hanya ada garis polisi yang terbentang dari sisi kamar hingga pintu. Dibalik garis polisi itu ada sebuah garis putih dilantai yang membentuk dua buah tubuh yang letaknya saling berdekatan, disekitar garis putih itu banyak cipratan darah yang sudah mengering. Tidak ada lilin, tidak ada meja, tidak ada Nino dan Sally. Ruangan itu gelap dan dingin. Pria itu mengambil sebuah klipingan koran yang tergeletak di lantai, sepertinya koran beberapa hari yang lalu. Koran itu bertuliskan “sepasang pria dan wanita menjadi korban perampokan berdarah, keduanya tewas mengenaskan. Polisi menemukan sebuah cicin di genggaman sang pria, perampok membawa barang-barang berharga korban. Kecuali cincin itu.”
“sekali lagi lu kerja gak bener gue patahin rahang lu.” Pria itu membuang kliping koran itu, lalu melangkah pergi dari kamar itu. “aneh, perasaan tadi gue denger ada suara orang lagi ngobrol sambil ketawa-ketawa deh. Jangan-jangan gue salah denger kali ya.” Ujar pria itu hingga akhirnya ia mengikuti bosnya keluar dari kamar itu.
Saat mereka keluar dari kamar, ada sesuatu yang memperhatikan mereka. sosok yang berdiri di sisi kamar yang gelap dan dingin, sosok itu hanya diam dan tersenyum. Mereka bergerak keluar dari kegelapan, mereka berhenti di tengah-tengah kamar. Mereka terus saja tersenyum. Nino dan Sally berdiri di tengah-tengah ruangan dengan tubuh yang sudah membiru, dan pakaian yang dipenuhi bercak darah. Tubuh mereka dingin, dan rusak akibat luka tusukan yang memenuhi setiap jengkal tubuh mereka. mereka terus memperhatikan kedua pria itu hingga mereka keluar dari rumah, lalu mereka menghilang diantara gelap dan dinginnya malam di dalam rumah.

halo…

- Copyright © Welcome To Blog Dendy002 - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger -