Popular Post

Popular Posts

Jumat, 18 Maret 2016

Pahlawan Tanpa Nama (Sebuah Surat Kecil)
Sudah lama aku tidak pulang ke rumah ayah bundaku, rumah di tengah pedesaan kecil bernama desa Mekar Asri. Cukup lama aku tinggal di sana, malah sampai usiaku hampir dewasa. Namun gejolak emosi mudaku yang ingin pergi ke tempat-tempat yang berbeda membuatku jengah berada di sana, aku ingin mengelilingi dunia. Dimana aku akan melihat tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya, aku sudah siap menghirup udara segar yang belum pernah ku hirup. Berbekal tekat yang sudah bulat, ku tinggalkan ayah bundaku. Aku pergi ke kota, Jakarta namanya. Kota yang akan menjadi pintu awalku untuk melihat dunia, di sana pula aku akan meneruskan pendidikanku. Buah hasil jerih payahku belajar di hamaran cahaya lampu minyak yang temaram hampir setiap malam, aku diterima di universitas paling bonafit di Jakarta. Namanya Universitas Indonesia, orang di desaku sebagian besar tidak ada yang tahu seperti apa tempat itu. Tapi para saudagar dan tuan tanah hampir semuanya berdecak kagum ketika mendengar aku diterima disana, sisanya hanya diam dalam wajahnya yang senap. Bagaimana anak seorang karyawan di balai desa dapat lolos ujian masuk Universitas setenar itu? Mereka tidak pernah bisa menerimanya.
Ku mantapkan kakiku untuk meninggalkan desaku, walau air mata bundaku sebagai bayarannya. Bayaran yang mahal. Aku tidak bisa menampik tamparan itu, tamparan karena sudah meninggalkan ia sendirian di umurnya yang sudah mulai menua. Aku adalah anak satu-satunya yang ia miliki, tapi bagaimanapun aku harus mengejar mimpiku. Aku harus melangkah, aku harus menatap ke depan. Hari itu aku tinggalkan ayah dan bundaku.
Di Jakarta aku menetap di sebuah rumah reot yang sempit nan pengap, apa boleh buat. Hanya ini yang mampu aku sewa, harga yang dapat aku jangkau. Tapi aku tidak menyerah, bagiku rumah ini tidak terlalu buruk ketimbang masa depan yang suram. Aku tinggal di sana selama empat setengah tahun, dan selama itu juga aku harus mampu hidup dengan kiriman ayahku yang tidak seberapa. Aku kesal saat itu, tapi aku tidak pernah menduga jika dengan uang yang mereka berikan, mereka acapkali tidak makan.
Satu yang aku pelajari dari kehidupan baruku di kota ini; semua ada harganya. Begitupun dengan harga diri, harganya begitu mahal. Aku yang mereka bilang bocah desa yang miskin kerap jadi lelucon, aku sering marah. Tapi aku tunjukan dengan prestasi yang aku dapat, hampir setiap semester yang aku jalani berbuah hasil yang fantastis. Nilaiku rata-rata empat, hanya sekali mendapat tiga koma delapan. Itu pun karena saat itu ibuku sakit. Beberapa tahun kemudian aku lulus dengan cum laude, dan sesegera mungkin aku kabarkan kepada orang tuaku. Mereka senang bukan kepalang. Orang-orang yang menghinaku seakan memakan bara panas ketika melihat kesuksesanku, sehabis lulus aku mencari pekerjaan. Kukerahkan segala ilmu yang aku dapat untuk meniti karir, dan perlahan-lahan karirku naik. Dalam sekejap sana penghasilanku meroket, aku jadi orang kaya dan kegiatanku sebulan sekali adalah keliling ke negara-negara yang ingin aku kunjungi; Amerika, Australia, Perancis, Jerman, Belanda. Sisanya kau sebut saja, mungkin aku sudah mengunjunginya.
Walaupun begitu, aku tidak pernah melupakan ayah dan bundaku. Setiap satu bulan sekali aku mengirimi mereka uang yang tidak sedikit, tidak pernah terlupa sama sekali. Tapi ternyata itu saja tidak cukup, mungkin kehadiranku yang mereka tunggu. Tapi aku tidak pernah hadir.
Beberapa bulan kemudian aku mendapat kabar bawa ayah dan bundaku meninggal karena serangan jantung, mereka meninggal di waktu yang sama. Aku segera memesan tiket untuk pulang, ku tinggalkan semua pekerjaan yang menyita waktuku. Aku tersungkur di hadapan jenazah ayah bundaku ketika aku sampai, air mataku tidak henti-hentinya berderai. Aku merasa menyesal tidak pernah pulang semenjak aku bekerja, bahkan aku tidak tahu bahwa ayah bundaku sudah setua itu. Berbeda dengan wajah mereka di kala terakhir kali aku melihat mereka, masih cukup muda dan segar. Setelah jenazah ayah bundaku dikebumikan, aku bersikeras untuk tinggal di rumah lamaku, aku enggan pulang ke kota. Ku katakan kepada orang-orang di tempatku bekerja bahwa aku mengambil cuti panjang, hatiku masih lara akibat kepergian orang tuaku. Aku ingin tinggal lebih lama di rumah ini untuk menyerap kehadiran ayah bundaku yang sudah mulai kering di hatiku, aku butuh menghirup udara yang sama yang aku hirup ketika aku masih kecil. Udara yang berbau napas ibuku, dan keringat ayahku.
Ayah dan bundaku dikebumikan di tanah lapang di sisi rumahku, itu adalah tanah kami. Rumah ini memang mempunyai lahan yang luas, cukup luas untuk menghidupi kami dari setiap jengkalnya. Di sana ayahku menanam banyak umbi-umbian, sayur-sayuran, dan rempah-rempah. Kadang ketika angin sore berembus, aku dapat mencium wangi rempah-rempah yang manis. Wangi tanahku, tempat lahirku. Kini di sana ayah dan bundaku terkubur, di antara sayur mayur, umbi-umbian, dan rempah-rempah yang mereka tanam. Kini setiap sore aku dapat mencium wangi napas bundaku, dan keringat ayahku. Aku sejenak merasa hidup, aku tidak pernah sehidup ini selama aku berjalan-jalan ke negara orang. Aku seperti ikan sungai yang hidup di air laut, aku seperti burung bangau di dalam sangkar. Bukan di sana tempatku, bukan di sana tanahku.
Tanahku di sini, di tempat aku dapat duduk dan mencium wangi napas bundaku dan keringat ayahku.
Sejauh apapun aku lari, aku pasti kembali ke sini. Ke tanahku. Sebanyak apapun aku meminum arak anggur yang manis di luar sana, aku akan selalu kembali untuk meminum air dari mata air di tanah ini.
Aku cinta rumahku yang dapat membuatku nyaman, aku butuh tanahku yang dapat menghidupiku.
Aku cinta….
Ini adalah kesaksianku, kesaksianku atas nama pahlawan tanpa nama yang berbaring di tanahku. Mereka yang telah mengajarkanku bagaimana nikmatnya angin sepoi-sepoi di rumahku, dan segarnya air dari tanahku.
Ini adalah suratku untuk mereka yang membaca, mereka yang mempunyai mimpi yang sama besarnya denganku. Mereka yang punya hasrat yang sama berkobarnya denganku. Maka pesanku, sebesar apapun mimpimu, walaupun sebesar gunung sekalipun. Kau harus menengok rumahmu, kau harus tidur di tikarnya yang beraroma pandan nan wangi, kau harus duduk di berandanya yang penuh angin sepoi-sepoi. Dan sepanas apapun hasrat yang ada di dadamu, kamu harus merawat tanahmu sendiri, tanah yang menjadi tempatmu menanam umbi-umbian, sayur-sayuran, dan rerempahan untuk kau makan. Tanah yang dari mata airnya kau melepaskan dahaga, dan tanah yang di dalamnya kau akan berbaring selamanya sebagai pahlawan tanpa nama.

- Copyright © Welcome To Blog Dendy002 - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger -