Popular Post

Popular Posts

Jumat, 18 Maret 2016

#WayToDie: Balada Riadi dan Manah
Hujan masih turun, sangat deras. Awan-awan hitam menutupi langit, menghalangi cahaya matahari. Sedikit sekali cahaya yang berhasil menembus tumpukan awan hitam, hingga gelap sedikit membuyarkan pandangan Riadi yang sedang menatap Manah. Tapi Riadi masih dapat melihat Manah dengan baik, walaupun tetesan air hujan mengharuskan matanya berkedip berkali-kali dan kilatan petir membuatnya pening. Mereka berdiri saling berhadapan, saling menatap satu sama lain. sedangkan di sekeliling mereka, puluhan orang berlarian. Berlarian seperti sekumpulan sapi gila yang tidak tahu harus lari kemana, satu hal yang mereka tahu adalah mereka harus berlari untuk membuat mereka terus bergerak. Karena hanya dengan itulah kegilaan mereka sedikit teredam, dan mereka dapat mengurangi kegilaan mereka sendiri. Mereka dan orang-orang yang berlarian di dekat mereka sudah basah kuyup karena hujan. Manah sempat menatap sekelilingnya, ia berdiri di sisi jalan raya. Mungkin beberapa meter di depannya adalah sebuah persimpangan yang mengarah ke rumahnya, hanya butuh melewati persimpangan itu dan ia sudah sampai di rumahnya. Orang-orang mulai berteriak-teriak, teriakan mereka membawa sebuah keresahan ke dalam hati Manah yang sedang mengingat di mana ia tinggal. Hanya untuk memastikan bahwa ingatannya masih berada di tempatnya, dan berfungsi dengan baik.
Mereka berdua mulai merasa kedinginan, sekujur tubuh mereka mulai membiru. Reaksi pertama tubuh mereka saat suhu yang menjalar sudah lebih dari batas yang seharusnya, tangan Manah menggerayangi telapak tangan Riadi dan menggenggamnya erat. Ia kembali menatap Riadi, bibir pilunya mengatup-atup. Mungkin karena mengigil. Saat bibirnya terbuka semakin lebar, Riadi sadar bahwa Manah, kekasih hatinya, ingin berbicara sesuatu. Riadi berharap suara hujan yang deras, dan suara orang-orang asing yang semakin lama semakin ramai mendatangi mereka tidak menenggelamkan suara Manah. “seharusnya aku tidak minta putus…” Riadi bernapas lega karena ia dapat mendengar suara Manah dengan jelas, suara Manah seperti sebuah cahaya terang di antara gelap gulita. Walaupun segelap apapun, cahaya masih dapat terlihat. Ia kemudian menyentuh pipi Manah yang halus, dan dingin. Manah menutup matanya, ia membiarkan jemari Riadi mengalir bersama air hujan di pipinya yang sudah tidak lagi berseri. Suhu dingin sudah mengambil gelimangan kerlap-kerlip di pipinya, seperti debu yang menempel di lampu bohlam. Semakin tebal, hingga sangat tebal. Membuat cahayanya semakin meremang. Riadi hanya bisa membalasnya dengan sebuah senyuman, senyuman manis tanpa rasa.
Satu jam sebelumnya…
“kenapa berhenti sih? Gak tau apa ini mau hujan!”. Bentak Manah, tidak biasanya perempuan yang bersuara halus ini menghardik. Emosinya sudah meluap, dan tidak dapat lagi ia tahan. Semenjak Riadi menghentikan motornya, dan memarkirkannya di sisi jalan, Manah terus menatapnya seperti seorang musuh. “kita harus selesaiin masalah ini sekarang, atau gak sama sekali.” Suara Riadi mengandung beberapa ledakan kecil, ledakan kecil yang luput dari perhatiannya. Riadi mendekati Manah yang berdiri dengan tangan melipat di dada, di sisi kanan motornya, mereka berhadapan seperti terdakwa yang saling serang. Mereka sudah termakan rasa marah yang tumbuh subur di dalam diri mereka, kemarahan yang kemudian menjadikan mereka berdua sosok monster yang mengerikan. Mereka tidak lagi perduli dengan langit yang sudah sangat gelap, langit sedang berjuang untuk menahan hujan deras yang terus menggedor-gedor. Angin pun bertiup kencang, menerbangkan beberapa kertas dan plastik yang berserakan di sisi jalan. Dahan-dahan pohon di sekitar mereka menarikan sebuah tarian kematian yang menumbangkan daun-daun malang, daun-daun lemah yang tidak dapat meneruskan tarian. “semua sudah aa jelaskan, dia itu cuma temen sekantor. Dan malam itu kita Cuma lembur bareng aja, gak lebih.” Riadi berusaha menekan nada suaranya pada setiap kalimat agar terdengar jelas, dan seperti sebuah kebenaran. “oh gitu, emang temen sekantor yang lembur bareng itu saling peluk-pelukan?” Manah tidak mau kalah, ia menekankan kata-kata “teman sekantor” dan “saling peluk-pelukan.”. Riadi mengepalkan kedua tangannya, kesabarannya mulai habis. Ia tidak tahu bahwa Manah ternyata mempunyai sikap keras kepala yang kronis, raut wajahnya mulai berubah. Tidak lagi terlihat tenang.
Manah menarik napas panjang, dan akhirnya apa yang ingin ia katakan semenjak kemarin berhasil ia katakan. “kita putus!”
Di sekeliling mereka, tanpa mereka sadari, hujan mulai turun rintik-rintik. Angin bertiup semakin kencang, dan langit sudah mulai mengeluarkan suara gemuruh yang disusul petir yang menyalak silih berganti. Sebuah truk tangki bahan bakar juga sedang melaju kencang ke arah mereka, sesungguhnya truk tangki itu hanya ingin melalui jalan raya di dekat mereka. sayangnya sang supir sepertinya mengantuk, dan langit gelap membuat jarak pandangnya terbatas. Ia tidak dapat melihat dua orang yang sedang berdiri di sisi jalan, dua orang yang sedang menentukan siapa yang benar. laju truk semakin cepat, dan jarak mereka semakin dekat….
Manah-lah yang pertama kali melihat truk tangki besar yang berlaju kencang ke arah mereka, dan ia berteriak sekencang-kencangnya. Riadi kaget, ia menoleh dan menemukan truk tangki sudah sangat dekat dengan mereka berdua. Mereka berdua akan mati, itu yang ada di pikiran Riadi. Ia kemudian menarik tangan Manah, dan memeluknya erat. Apapun yang terjadi, ia harus melindungi Manah. Mereka sudah berjanji akan selalu ada untuk satu sama lain, bahkan di saat terburuk sekali pun. Truk tangki menerobos dengan cepat, dan sebentar lagi akan meratakan tubuh mereka ke tanah. Petir terus menyambar-nyambar dari langit, dan hujan deras pun turun.
Riadi dan Manah menutup mereka saat truk tangki bercat merah datang kepada mereka seperti sosok malaikat kematian. Apa yang terjadi, maka terjadilah. Bisik Riadi. Mereka mati dengan sangat mengenaskan, jika saja sang supir tidak segera membanting stir dan kembali ke jalan raya. Sang supir tersadar pada detik-detik terakhir, dan mengendalikan truk tangki yang ia kendarai. Keempat ban truk itu berderit bersamaan saat sang supir mengerem dan membelokan kepala truk sebelum menghantam mereka berdua. Riadi membuka matanya, dan ia menyaksikan bagaimana truk itu meleset dari tubuhnya dan Manah. Angin berhembus sangat kencang, dan menerbangkan rambut basahnya. Sebuah adrenalin, dan perasaan lega meledak di dalam diri mereka berdua. Tubuh mereka seperti disuntikan cairan penenang, dan cairan itu mulai mengalir ke dalam jantung mereka yang berdetak cepat. Detakan yang memburu. Setelah berhasil menghidari mereka, truk tangki mulai berjalan menjauhi mereka. Manah membuka matanya, ia tersenyum. Beberapa detik yang lalu ia berpikir bahwa dirinya akan mati, tapi ternyata meleset. Mereka berdua tertawa lega, bersamaan dengan suara gemuruh keras yang berasal dari langit. Namun kemudian suara tawa mereka seketika tenggelam saat menyadari bahwa suara itu bukanlah suara gemuruh, suara itu adalah suara batang pohon yang patah. Batang pohon besar yang berdiri di belakang Riadi, tepat di sisi sepeda motornya. Mereka menyaksikan bagaimana pohon besar itu tumbang, semua itu terjadi sangat pelan di bola mata mereka. seperti terjadi dalam gerak lambat, dan sangat tenang. Mereka sempat menatap satu sama lain, sebelum pohon besar itu menimpa mereka. menghancurkan setiap ruas-ruas tulang di dalam tubuh mereka, dan menciptakan ledakan darah ke udara. pohon besar itu begitu cepat, dan keras membelah tubuh mereka dan membuatnya seperti bubur. Bubur dengan toping daging segar, dan kuah darah merah yang kental. Ketika seluruh tulang sudah hancur karena tidak dapat menopang batang pohon yang sangat besar, kepala mereka-lah yang jadi alas. Batang pohon tua berwarna abu-abu, dan berkulit keras seakan mengadu kepala mereka berdua dengan aspal. Dan tentunya kepala mereka kalah. Wajah mereka retak, dan terbelah dua. Tengkorak kepala mereka pecah, dan menghamburkan segala isinya. Membuat otak mereka berubah menjadi sari-sari kental yang lengket, dan berhamburan di jalan. Darah mengalir deras dari tubuh keduanya, dan kemudian larut ke dalam air hujan yang mengaliri jalan hingga bermuara ke gorong-gorong. Mereka berdua tergeletak dengan tubuh hancur, dan terpisah-pisah. Usus, hati, jantung, dan organ-organ dalam mereka berserakan di sekeliling mereka. kepala mereka yang terbelah dua bersembunyi di balik rindang dedaunan di dahan pohon, masing-masing bagian kepala mereka yang terpisah sempat berdenyut beberapa kali. hingga akhirnya mereka larut dengan lautan darah, dan air hujan yang mengalir semakin deras…
Riadi dan Manah berdiri di dekat orang-orang yang masih saja berdatangan untuk merlihat jazad mereka, namun sekarang polisi sudah mulai berdatangan dan memaksa orang-orang untuk menepi. Kejadian itu sangat cepat, namun yang mereka rasakan hanya rasa sakit, perih, dan hancur yang menyayat mereka seperti sebuah pedang. Sebelum mereka mati, mereka sempat saling menatap dengan wajah yang sudah terbelah. Lalu ketika mereka sadar, mereka sudah berdiri di dekat mayat mereka sendiri. Mayat yang sudah tidak dapat dikenali lagi, dan sangat mengenaskan. Mereka sempat muntah-muntah saat melihat mayat mereka sendiri. “harusnya aku gak bilang putus sama aa.” Manah sekali lagi mengulangi ucapannya. Riadi masih terlihat tenang, kemudian kedua tangannya meraih pundak Manah dan meremasnya. “bukan salah kamu.” ia berkata. “aa juga gak tau kalo kita akan benar-benar putus. Secara harafiah.”
Manah menangis saat tubuh mereka mulai memudar, dan berubah menjadi bayang-bayang yang hilang di dalam rintik-rintik hujan yang kembali deras.

- Copyright © Welcome To Blog Dendy002 - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger -