Popular Post

Popular Posts

Jumat, 18 Maret 2016

#FiksiHorror: Mitos
“kamu bosan ya Anggi?” tanya seorang wanita paruh baya, bibi Icih namanya. Anggi segera menoleh ke arah bi Icih, ia sempat diam sejenak untuk membasahi tenggorokan dan bibirnya agar suara yang ia hasilkan ketika bicara cukup jelas. “iya nih bi, mau jalan-jalan tapi bingung mau kemana. Udah gitu kayaknya yang lain sibuk, jadi gak ada yang ngajak.” Tutur Anggi dengan tatapan malas. Mungkin di dalam hatinya ia agak lega karena akhirnya ada juga yang peduli kepadanya, semenjak ia sampai di Cirebon untuk menghadiri tahlilan neneknya. Tidak ada yang peduli kepadanya. Walaupun tidak berpengaruh apa-apa, setidaknya itu bisa membuatnya merasa masih diperhatikan. “kasian ya kamu, eh tapi di alun-alun kota sekarang ada acara cuci keris loh.” Bi Icih berbicara dengan nada yang sangat tenang, dan ceria. “soalnya kan mau maulidan, jadi alun-alun ramai. Ada pasar malam yang menjual barang-barang khas, dan kabarnya ada pertunjukan wayang kulit juga. Kamu mau ke sana?” tambah Bi icih seraya menyikutnya. “wah, menarik. Kapan bi acaranya?” senyum di wajah Anggi langsung mengembang, seperti awan hitam yang semakin lama semakin mengecil bergantikan cahaya sinar matahari yang cerah. “kalo gak salah sih besok malam, kalo kamu mau. Kamu bisa ke sana untuk cari hiburan.” Bi Icih menguncir rambut ikalnya, ia memang terus bergerak ke sana kemari semenjak pagi tadi. Tidak heran jika keringat membasahi dahi dan juga lehernya, mengikat rambut ikal panjangnya memang ide yang bagus untuk mengurangi panas tubuhnya.
“mau banget bi kesana.” Tanpa perlu berpikir lagi, Anggi menjawab. “tapi….” kemudian raut wajahnya berubah kembali, seperti langit yang cerah tiba-tiba kembali mendung. “siapa yang mau nganterin bi? Semua orang pasti sibuk besok, dan malam harinya mereka akan terlalu lelah untuk mengantar keliling kota.” Anggi menyangga kepalanya di kedua tangannya. “jangan sedih dulu, besok malam kamu jalan sendiri aja. Nanti bibi pinjamkan mobil deh, kamu masih ingat kan jalan-jalan kota?” bibi Icih menyapu rambut Anggi. Anggi langsung mengangkat kepalanya dari tangannya, “wah boleh bi, aku masih inget kok.” Anggi memang pernah tinggal di Cirebon saat ia masih remaja, lebih tepatnya tiga tahun dari masa remajanya. “bagus kalo gitu, besok kamu jalan-jalan aja. Lepas penat.” Bi Icih sempat memainkan matanya ke arah Anggi, lalu beranjak dari sofa setelah menepuk pundak Anggi beberapa kali. Anggi memerhatikan bi Icih pergi dari hadapannya untuk kembali ke kerumunan orang-orang yang tengah sibuk membereskan tenda dan tikar-tikar panjang. Kebahagian Anggi tergambar jelas dari senyuman yang terus mengembang di bibirnya, akhirnya ia bisa jalan-jalan dan meninggalkan rumah neneknya untuk beberapa saat. Ia sudah membayangkan bagaimana ramainya alun-alun kota besok malam, ia bahkan membuat daftar barang yang akan ia beli, dan juga makanan yang ingin ia makan besok malam. Anggi mulai mempersiapkan semuanya.
Malam harinya, Anggi menghampiri ibunya yang tengah mencuci piring di dapur. “tolong timba air Anggi, penuhin bak cuci piringnya.” Ibunya dengan sigap memerintahnya saat tahu ia mendekat, “sial.” Ujar Anggi di dalam hatinya. Saat itu Anggi berniat untuk meminta izin untuk pergi besok malam, atau jika ia tidak diperbolehkan. Ia tidak ragu untuk merayu ibunya hingga ia mendapatkan izin. Anggi menurukan ember hitam yang dikaitkan pada sebuah tali yang dibuat dari ban bekas, kerekan yang terus saja berputar saat ember menuruni sumur hingga menyentuh dasar menghasilkan suara gesekan yang cukup keras. Membuat telinga Anggi seperti dikelitiki dari dalam. Anggi sempat kepayahan saat menarik kembali ember yang sudah penuh air, inilah yang ia paling benci dari rumah neneknya. Rumah itu masih menggunakan timbaan untuk mengambil air untuk keperluan sehari-hari, secara tidak langsung hal ini menyiksa Anggi yang memang tidak pernah menimba sebelumnya. Tapi saat itu Anggi tidak mau memperlihatkan rasa jengkelnya, ia ingin mendapatkan izin dari ibunya dan ia harus berubah menjadi anak yang penurut untuk setidaknya sepuluh menit kemudian. “bu, besok malam aku ke alun-alun kota ya?” tanya Anggi saat ia menumpahkan ember pertama hasil susah payahnya menarik tali timbaan. “mau ngapain ke sana?” ibunya sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari tumpukan piring yang sedang ia cuci. “kata bi Icih ada acara di alun-alun, kan mau maulidan. Jadi di alun-alun ada banyak acara, cuci keris sama wayang kulit. Aku mau nonton bu.” Anggi mulai menurunkan ember ke duanya, ketika ia menariknya kembali. Ternyata sudah tidak seberat yang pertama, ia sudah mulai terbiasa. “sejak kapan kamu suka wayang kulit?” nada suara ibunya sangat terdengar datar, dan mengintimidasi. Anggi mencoba melawan, “mulai sekarang. Abis dari pada gak ngapa-ngapain disini. mending ke luar aja, cari hiburan.”
“oh gitu. Kamu mau naik apa ke sana.” Ibu anggi membilas beberapa piring yang penuh dengan buih-buih sabun. “mau naik mobil bi Icih.” Tidak terasa sudah ember ke tiga yang Anggi tuangkan, sedikit lagi bak cuci piring akan penuh. “kamu udah minta izin sama bi Icih belum?” ibu Anggi menyusun piring di rak piring sekarang. “udah dong, dan bi Icih ngasih kok. Boleh ya bu, please.” Nada bicara Anggi sudah mulai sedikit meminta, ia tahu kemungkinan besar ibunya masih akan melawan dengan tidak memberikannya izin.
“ya udah, tapi inget. Sebelum jam dua belas malam sudah harus di rumah ya.” Jawab ibunya dengan nada yang sangat tenang seraya membersihkan tangannya dari sabun. Anggi sama sekali tidak menyangka bahwa ibunya akan menyerah. “asik.” Pekik Anggi, ia menuangkan air dari ember ke empatnya dengan sangat bersemangat hingga terdengar suara percikan saat air membentur permukaan air di dalam ember. “makasih ya bu.” Anggi memeluk ibunya, mereka masuk ke rumah bersama-sama.
Perjalanan Anggi malam itu cukup menyenangkan, jalan-jalan yang ia lewati lancar tanpa harus antre atau bahkan lebih buruk: macet. Untuk orang yang terbiasa tinggal di kota besar seperti Jakarta, perjalanan malam itu tentu sangat menyenangkan. Jalanan yang tidak padat, lampu-lampu jalan yang berpendar di kaca depan mobilnya dan orang-orang yang lalu lalang di trotoar. Mereka sangat menikmati malam itu, saat melewati jalan yang bisa dibilang jalan kecil, Anggi melihat beberapa penjual makanan khas yang menjajakan dagangan mereka. mulai dari Surabi Kinca, Empal Gentong, dan Nasi Jamblang. Deretan-deretan gerobak dagangan mereka seperti berbaris di tepi jalan, siap memanjakan siapa saja yang melewati jalan kecil yang cukup ramai.
Mobil yang dikendarai Anggi sudah mulai memasuki tengah kota, jalanan pun sangat ramai. Para pejalan tidak hanya memenuhi trotoar, namun hingga ke bibir jalan. Belum lagi pedagang yang menggelar dagangannya, mereka menambah sesak jalanan kota. Anggi harus memperlambat laju mobilnya untuk menghindari para pejalan kaki yang sangat dekat dengan mobilnya, walaupun begitu, ia tetap menikmati suasana malam itu. hasratnya untuk bergabung dengan mereka sangat besar, pandangannya tidak pernah lepas dari para dagangan yang dijajakan sepanjang jalan lurus menuju alun-alun kota. Ia sungguh sudah tidak tahan untuk segera turun dan bergabung dengan keramaian, hingga ketika mobilnya sampai di alun-alun tanpa basa-basi ia langsung mencari tempat yang tepat untuk memarkir mobilnya. Kecepatan dan ketangkasannya-yang diakibatkan oleh ketidak sabarannya untuk segera turun ke jalan- dalam mengemudi, menghasilkan sebuah tempat yang strategis untuk memarkir mobilnya sementara ia larut bersama suasana malam. ia mematikan mesin mobilnya, dan segera turun dari mobil. Seorang petugas parkir bertubuh kurus, dan berkulit hitam yang mengenakan seragam dinas yang usang dan terlihat kebesaran tersenyum kepada Anggi. Anggi membalasnya dengan menambahkan anggukan kepala, lalu berlalu. Ia mengapit tas mungilnya yang berwarna coklat hangat, dan beberapa kali menyibak rambutnya yang panjang karena tertiup angin. Ketika itu memang sedang musim angin laut, dan membuat angin berhembus dari segala arah.
Jam tangan Anggi menunjukan pukul sepuluh malam, dan ia segera menembus keramaian untuk melihat prosesi pencucian keris dan benda-benda keraton lainnya. Ia berdiri dengan puluhan bahkan ratusan orang yang berkumpul di balik garis yang sudah dibuat oleh Abdi Dalem untuk membatasi penonton. Garis itu membentuk jalanan panjang dengan bagian tengah yang sengaja di kosongkan untuk meletakan barang-barang keraton yang akan dicuci, dan juga air yang sudah dicampur kembang tujuh rupa. Para Abdi Dalem sudah bersiap-siap di posisi mereka masing-masing, menunggu aba-aba untuk memulai prosesi. Dari tempatnya berdiri, Anggi dapat mencium wangi berbagai macam kembang. Namun yang paling kuat adalah wangi melati yang sangat harum tapi menghadirkan kesan mistis yang amat kuat, ia tiba-tiba saja merinding tanpa alasan yang jelas. Ia pernah mendengar sebuah mitos bahwa ketika prosesi pencucian benda-benda keraton, di antara pengunjung yang datang banyak sosok-sosok makhluk halus yang berbaur dengan pengunjung. Hanya mereka yang peka-lah yang dapat membendakan mana makhluk halus, dan mana yang benar-benar manusia. Ketika teringat akan mitos itu, Anggi kembali merasakan sensasi sapuan yang dingin di setiap senti tubuhnya. proses pencucian keris pun dimulai, Anggi memperhatikan dengan seksama, begitu juga pengunjung lain. namun entah mengapa, ia merasakan seperti ada seseorang yang sedang memerhatikannya. Ia mulai merasa tidak nyaman, dan beberapa kali menyebarkan pandangannya ke seluruh penjuru alun-alun. Tapi tidak ada seorang pun yang sedang memperhatikannya, ia pun kembali memusatkan diri ke proses pencucian keris. Lagi-lagi perasaan itu muncul, ia kesal dan langsung menoleh ke sisi kanannya. Kali ini ia seakan tidak dapat menoleh, karena di antara ramainya orang-orang yang datang. Anggi melihat sosok wanita menatapnya, wanita itu mengenakan pakaian tradisional dan rambutnya panjang.
Anggi tidak dapat melihat detil pakaian apa yang ia kenakan, karena posisi wanita itu cukup jauh dari tempatnya berdiri. Tapi Anggi yakin pakaian yang ia kenakan berwarna keemasan. Walau pun memiliki rambut yang panjang, wanita itu tetap terlihat rapi. Rambutnya tersisir ke belakang, dan hanya menyisakan beberapa helai saja yang tidak tersisir. Anggi merasakan ada yang aneh, raut wajah wanita itu, ia menatap dengan mata yang tajam lalu disusul sebuah senyuman yang misterius dan menyeramkan. Anggi terus membalas tatapan wanita itu, dan semakin lama ia menatap wajah wanita itu. wajahnya seperti perlahan-lahan berubah, kulitnya yang merona lama kelamaan berubah menjadi pucat pasi. Bibirnya yang merah berubah menjadi kering, dan darah mulai mengalir dari sela-sela bibirnya. Anggi merasa seperti diburu sesuatu saat ia menatap wanita lebih lama, ia kemudian mengalihkan pandangannya ke bawah. Ia menatap kakinya sendiri, seperti orang bodoh. Anggi mengambil sebuah napas yang panjang, lalu mengangkat kembali kepalanya untuk kembali menatap wanita misterius yang ia lihat tadi. Namun betapa kagetnya ketika ia menemukan wanita itu sudah tidak ada di tempatnya berdiri tadi, hanya ada sosok pria paruh baya yang ia lihat berdiri di belakang wanita itu. tapi si wanita sudah tidak ada, kemanakah dia? Embusan angin dingin membelai tengkuk Anggi, membuat tubuhnya gemetaran. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali menyaksikan proses pencucian keris hingga selesai.
Orang-orang mulai bubar saat proses pencucian keris selesai, begitu juga Anggi. Ia berjalan perlahan-lahan, matanya menerawang akan sosok wanita tadi. Tapi kemudian ia mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif yang muncul saat ia memikirkan wanita misterius itu. pikiran-pikiran seperti: jangan-jangan wanita itu bukan manusia, atau jangan-jangan wanita itu sosok kuntilanak penghuni alun-alun yang ikut membaur bersama manusia.
Anggi menghentikan langkahnya saat sampai di bagian tengah alun-alun, ternyata pertunjukan wayang kulit yang ia lihat tadi sudah dimulai. Ia membutuhkan sebuah hiburan untuk menghilangkan pikiran-pikirannya yang semakin lama semakin tidak terkendali akibat sosok wanita tadi, ia pun duduk di atas rumput hijau. Lakon yang sedang dimainkan belum terlalu jauh berjalan saat Anggi memutuskan untuk duduk, dan menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang tengah digelar. Walaupun pertunjukan itu berbahasa Jawa, tapi tidak membuat Anggi bosan. Ia malah terhibur, dan beberapa kali tertawa saat beberapa lelucon dilemparkan sang dalang. Anggi juga sangat terhibur akan suara Sinden yang menyanyikan beberapa lagu tradisional selama pertunjukan berlangsung, suara Sinden yang ia dengarkan benar-benar membangun suasana magis yang membuatnya semakin larut dan menikmati lakon yang saat itu sedang dimainkan. Anggi pun mulai menyatu dengan pertunjukan wayang kulit, dan lupa waktu. Waktu berlalu sangat cepat, hingga tengah malam pun sudah berlalu. Anggi tersentak seketika itu, ia menatap jam tangannya. Sudah hampir pukul satu dini hari, ia dalam masalah. Pasti ibunya akan sangat marah, ia sudah berjanji untuk pulang sebelum jam dua belas malam. ia juga baru menyadari bahwa alun-alun sudah mulai sepi, hanya ada beberapa kelompok orang saja yang menonton pertunjukan wayang kulit. Anggi segera beranjak, dan mengambil semua barang-barangnya lalu pergi. Ia mempercepat langkahnya, sepertinya malam ini ia harus bersiap-siap mendengar ocehan ibunya yang marah besar karena ia pulang sangat larut. Baru beberapa langkah meninggalkan tempatnya duduk, tiba-tiba Anggi merasa ada sesuatu yang menarik tangannya. Tarikan itu cukup kuat hingga menghentikan langkahnya. Anggi tersentak, dan jantungnya seakan berhenti berpacu. Ketika ia menoleh ke belakang, ternyata sosok pria tua berdiri di belakangnya dan menghentikan langkahnya. Pria itu mungkin saja berumur lebih dari lima puluh tahun, kerut-kerut di wajahnya sangat nyata terlihat dan janggut yang mulai memutih menghiasi wajahnya. “arep ngendi nok? (mau kemana nak)?” tanya sosok pria tua yang menatapnya dengan tatapan yang sigap.
“maaf pak, saya mau pulang.” Jawab Anggi dengan terbata-bata, jantungnya berdegup kencang. Pria tua itu menatap Anggi dari ujung kaki hingga ujung kepala, “lebih baik kamu kembali dan nonton pertunjukannya sampai pagi.” Sebuah senyuman kecil mengembang di wajahnya, tapi tetap saja tidak menghilangkan kesan menyeramkan yang terpancar kuat dari raut wajahnya. Anggi baru menyadari bahwa suara pria tua yang menghentikannya penuh dengan Medhok Jawa, pasti dia orang pribumi sini. “maaf pak, saya gak bisa. Saya harus pulang sudah malam.” Anggi dengan sopan berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman pria tua itu. “lebih baik kamu jangan pulang. Karena mitos mengatakan bahwa orang yang menonton wayang kulit semalam suntuk, harus sampai pagi. Jika tidak….” pria tua itu tidak meneruskan kata-katanya. “jika tidak apa pak?” Anggi bertanya. Tapi pria tua itu tetap tidak menjawab, ia malah terlihat kikuk. “jika tidak apa pak?” Anggi mengulangi kata-katanya, ia mulai mendesak pria tua itu. “jika tidak maka akan mendapat celaka.” Suara pria tua itu terdengar sangat rendah, dan berat. Seperti sedang memikul beban yang berat, dan tidak dapat menjatuhkannya begitu saja. Anggi mundur selangkah dari pria tua itu, mereka saling menatap dan suasana hening. Suara Anggi yang menyanggah kata-kata pria tua yang berdiri di hadapannya, memecah keheningan. “maaf pak, saya tidak percaya mitos seperti itu. saya harus pulang sekarang, terima kasih atas perhatiannya.” Pria tua itu menghela napas panjang dan membuka mulutnya, “jika itu yang kamu inginkan, silakan saja.” Nada suara pria tua itu menunjukan rasa pasrah, dan keterpaksaan. Anggi tersenyum kecut kepadanya, dan meninggalkannya. ia memacu mobilnya meninggalkan alun-alun.
Selama beberapa detik Anggi seakan buta di dalam mobilnya, ia tidak bisa melihat apapun. Kabut menutupi jalan, hal yang dapat ia lakukan adalah menstabilkan mobilnya agar tetap berjalan lurus dan tidak goyah. Setelah itu akhirnya perlahan-lahan kabut itu terlewati, ia kembali dapat melihat jalan-jalan di sekitarnya. Tapi justru hal itu membuatnya semakin ketakutan, karena ternyata jalanan yang ia lewati sangat berbeda dengan yang seharusnya ia lewati. Jalanan di sekitarnya berubah menjadi sebuah jalan kecil dengan hutan-hutan di kanan dan kirinya. Kebanyakan pohon di hutan yang mengelilinginya sudah kering, hanya beberapa saja yang masih terlihat penuh dedaunan. Dan yang lebih buruk adalah, sama sekali tidak ada rumah penduduk yang ia temukan sepanjang jalan. Setiap kali Anggi mencoba mencari-cari, ia semakin tidak menemukan apa-apa. Sejauh ia memandang hanya ada hutan yang gelap dan jalan yang kosong.
Tidak ada kendaraan lain yang lewat, dan jalan itu sangat asing baginya. Ia sama sekali tidak tahu dimana ia berada, dan sekeras apapun ia menghindar dari kenyataan yang terjadi. Kenyataan itu malah semakin jelas terpampang di pelupuk matanya, dan merasuk ke dalam setiap tarikan napasnya yang menderu-deru. Kenyataan itu seperti menamparnya, kenyataan bahwa ia tersesat.
Anggi seperti mendengar ribuan suara yang berteriak di telinganya, mengulangi kenyataan bahwa ia tersesat. Ia tidak tahu kemana ia harus pergi, ia tidak tahu jalan pulang. Walaupun begitu, ia sama sekali tidak menghentikan laju mobilnya. Cukup kecepatannya saja yang ia kurangi, sementara kedua matanya terus mencari tanda-tanda kehidupan sepanjang jalan. Sudah lima menit berlalu, tapi tak satu pun manusia, rumah, atau tempat pemberhentian yang ia temui. Jantung Anggi berdegup kencang, membuatnya mau tidak mau memacu napasnya. Tatapannya masih terpusat ke jalanan lurus di hadapannya, hingga satu hal yang akhirnya ia sadari. Ia telah tiga kali melihat dua pohon beringin kembar yang berdiri kokoh di sisi jalan, ia tersentak. Itu berarti ia hanya berputar-putar di jalan yang sama, bagaimana mungkin? Ia tidak pergi kemana-mana. setiap detik yang berganti, napasnya semakin terasa sesak. Dadanya kembang kempis berusaha memonpa udara agar jantungnya tetap berdetak, tubuh Anggi juga mulai lepek oleh keringat. Bagaimana jika ia tidak dapat pulang? Pertanyaan itu menancap dan mencabik-cabiknya perlahan-lahan, dan sebuah harapan datang. dari kejauhan Anggi melihat setitik cahaya yang cukup terang, ia menaikan kecepatan mobilnya hingga cahaya itu terlihat semakin dekat. Ketika ia sudah berada cukup dekat dengan cahaya terang di hadapannya, ia melihat sebuah rumah bilik sederhana di sisi jalan. Rumah Bilik yang sama sekali tidak ia lihat tadi, betapa senangnya Anggi. Ia segera menghentikan mobilnya, dan turun tanpa mematikan mesin mobil. Dengan terburu-buru Anggi berjalan mendekati rumah bilik, dan menemukan seorang kakek tua sedang duduk di berandanya. Udara malam itu ternyata sangat dingin, bahkan lebih dingin dari pendingin di dalam mobil. Anggi berhenti di dekat kakek tua itu, “maaf kek, ini dimana ya? Saya mau ke jalan Pal.” Anggi mengatur cara bicaranya agar terdengar sopan, dan ramah. Tapi kakek itu tidak menjawab, dan membuat Anggi semakin gugup. “maaf kek, kalo mau ke jalan Pal kemana ya?” anggi mengulangi lagi pertanyaannya, namun kali ini ia tidak dapat menutupi rasa takutnya di dalam nada bicaranya. Belum sempat memikirkan tindakan selanjutnya, kakek tua ia menoleh ke arahnya dan mengangkat tangannya seakan menunjukan arah. Anggi langsung lemas melihat wajah kakek yang menatapnya, wajahnya sangat pucat dan lingkaran matanya hitam. Kedua bola matanya terlihat bercahaya seperti mata seekor kucing, dan sayup-sayup ia juga mendengar suara kakek itu tertawa dengan suara yang serak dan menyeramkan. Suara tertawanya lebih mirip suara cekikan.
Anggi tidak perlu menunggu alasan yang masuk akan untuk segera pergi meninggalkan kakek misterius yang terus saja menatapnya, sesuatu yang menyeramkan dari sosok kakek itu seperti sebuah alarm untuk segera pergi. Anggi tidak ragu-ragu untuk menginjak pedal gasnya, hingga mobilnya langsung melaju kencang meninggalkan kakek itu. ia semakin frustasi, jalan yang ia lewati masih jalan yang sama seperti yang sudah ia lewati hampir selama satu jam belakangan. Tidak ada tanda-tanda jika jalan lurus panjang ini akan berakhir, dan juga tidak ada tanda-tanda pemukiman. Lututnya sudah terasa lumpuh, dan gemetaran. Ia seperti seseorang yang menderita penyakit lumpuh layu, atau orang yang kehilangan kemampuannya untuk mengontrol tubuhnya sendiri. Keputus asaan mulai jelas terlihat, membuat Anggi menginjak pedal gas-nya semakin kencang. Mobilnya melaju semakin kencang, dan tidak terkendali. Butiran-butiran air mata mulai turun, dan membasahi pipinya. Sementara mobilnya melaju semkin kencang, sosok wanita yang ia lihat di alun-alun muncul di tengah jalan. Anggi sangat terkejut, dan tidak bisa mengendalikan dirinya.
Kakinya menginjak pedal rem sekencang-kencangnya, kedua ban belakang mobilnya terserat di atas tanah berkerikil. Suara gesekan yang cukup keras memecah keheningan malam, debu-debu mengepul di sekitar mobilnya yang baru bisa berhenti beberapa meter dari tempat wanita itu berdiri. Anggi dapat mengenali wajah wanita itu beberapa detik sebelum mobilnya menghantamnya, dan jika ia tidak salah lihat. Wanita itu sempat tersenyum.
Kepulan debu semakin tipis dan hilang perlahan-lahan, suasana pun menjadi sepi. Anggi masih diam dan menggenggam kencang kemudi, jantungnya berdetak tidak beraturan. Ia tersengal-sengal, dan basah keringat. Guncangan akibat apa yang baru saja terjadi membuatnya untuk sesaat tidak berada di tempatnya berada, ia seperti melayang ke dunia yang asing. Terombang ambing oleh angin dingin yang bertiup kencang. Kepalanya berdenyut-denyut, dan terasa pening. Ia juga merasakan sensasi yang unik, seperti sebuah kekosongan dan kesunyian merasuk ke dalam dirinya. Membuatnya ringan, dan tembus pandang. Ia merasa bahagia, tapi juga was-was. Rasa nyeri perlahan-lahan merangkak, dan memeluknya. Membuatnya lemas, dan tidak berdaya. Rasa nyeri yang panas sangat terasa di kepalanya, jika ia tidak salah tebak. Mungkin ada sebuah luka yang cukup serius di kepalanya, luka itu seperti menyengatnya hingga kemudian ia sadar dan kembali ke tempat ia berada.
Anggi masih berada di kursi kemudi, suasana di sekelilingnya sunyi. Hanya ada beberapa suara serangga malam yang bersahut-sahutan dari kejauhan. Tangannya merogoh pintu mobil, hingga akhirnya pintu mobil terbuka. Anggi keluar dari mobilnya dengan keadaan sempoyongan, ia tidak tahu apakah ia telah menabrak wanita itu atau tidak. Namun saat ia memeriksa tempat di mana wanita itu berdiri, ia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada tubuh yang terbaring, atau darah yang berceceran. Tidak ada, hanya kekosongan yang ia temukan. Ia bertanya-tanya di dalam hatinya, kemanakah wanita itu pergi? Tapi Anggi sepertinya tidak ingin mencari jawaban akan pertanyaan itu, ia hanya ingin kembali ke dalam mobilnya dan segera pulang. Terutama saat akhirnya ia menyadari bahwa ia tahu di mana ia berada, ia berada di jalan Pal. Bahkan ia hanya cukup berjalan beberapa meter ke depan untuk sampai di rumah neneknya, hutan-hutan gelap yang berada di sisi jalan sudah berganti dengan rumah-rumah dengan cahaya lampu yang terang benderang. “syukurlah.” Ucapnya pelan. ia masuk ke dalam mobil, dan meneruskan perjalanannya. Lima menit kemudian ia sudah berada di dalam rumah neneknya, tapi semenjak ia sampai. Ia tidak menemukan siapapun di dalam rumah, mungkin orang-orang termasuk ibunya sudah tidur pikirnya. Ia merasa sedikit lega karena tidak harus menghadapi ibunya sekarang, ia merasa terlalu lelah dan kesakitan untuk menghadapi ibunya sekarang. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, terutama saat air dingin sedikit demi sedikit membasahi tubuhnya. rasa perih muncul satu persatu dari tangan, kaki, dan lutut. Setelah mandi, ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Anggi sangat membutuhkan istirahat saat ini, tubuhnya terasa berat. Anggi berbaring perlahan-lahan, dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. walaupun begitu tubuhnya masih saja menggigil, dan bibirnya membiru.
Tapi ternyata Anggi tidak bisa tidur, ia sudah berbaring cukup lama. Tapi kedua matanya tidak juga terpejam, membuatnya semakin gelisah.
Anggi merasa beruntung saat mendengar suara ibunya dan bi Icih di ruang tamu, ia sangat butuh ibunya saat ini. ia merasa harus menceritakan apa yang terjadi kepada ibunya, tanpa ragu-ragu lagi, ia beranjak dari tempat tidurnya menuju ruang tamu. Ketika sampai di ruang tamu, ia menemukan ibunya sedang duduk bersama bi Icih. Ibunya terlihat sedang menangis tersedu-sedu, dan bi Icih mencoba menenangkannya. Walaupun rasa sedih juga terlihat jelas dari tatapan matanya.
“ibu kenapa?” Anggi berteriak, ia tidak dapat menahan dirinya ketika melihat ibunya menangis. Ia menghampiri ibunya dan bi Icih, dan duduk di sebuah kursi kecil di depan mereka. “ibu kenapa?” tanyanya, “ibu kenapa bi?” tatapan matanya bergantian menatap ibunya dan bi Icih. Tapi keduanya tidak menjawab pertanyaannya, ibunya terus saja menangis. Anggi merasa jengkel karena pertanyaannya tidak ada yang menjawab, “ibu kenapa bi!” suara terdengar seperti sedang menghardik. Tapi keduanya tidak juga menjawab, bahkan menoleh juga tidak. Anggi pun emosi, ia memegang tangan ibunya. Tapi kemudian emosinya hilang seketika saat menemukan bahwa ia tidak dapat memegang tangan ibunya, jari-jarinya menembus pergelangan tangan ibunya. Ia mencobanya lagi, tapi hasilnya tetap saja sama. Ia mundur selangkah, dan menatap ibu dan bibinya dengan mata yang terbelalak. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat, ia tidak bisa menyentuh tangan ibunya. “teteh yang tabah ya, kita harus merelakan kepergiannya. Supaya jalannya mudah, saya tahu ini memang berat. Tapi teteh pasti kuat.” Suara bi Icih terdengar sangat pilu, ia sedang berusaha menahan perasaannya sendiri. Ia sangat berbicara dengan sangat hati-hati, ia ingin menjaga kesedihannya sendiri agar tidak pecah. “kalo teteh sedih terus kasihan Anggi nanti.” Bi Icih mengusap punggung ibu Anggi. “iya saya ikhlas, tapi kenapa harus sekarang. Anggi masih muda, dan dia gak pernah ngebut-ngebutan. Bagaimana ia bisa mengalami kecelakaan yang separah itu hingga merenggut nyawanya.” Isak tangis ibunda Anggi semakin keras, menggambarkan kesedihannya yang begitu besar karena telah kehilangan anaknya. “lebih baik sekarang kita ke rumah sakit untuk mengurus jenazah Anggi, dan proses pemakamannya.” Bi Icih membantu ibu Anggi untuk berdiri, dan kemudian memapahnya menuju mobil yang terparkir di halaman rumah. Anggi mengikuti mereka dari belakang, dan sekali lagi ia terkejut karena ia tidak menemukan mobilnya di halaman depan. Hanya ada mobil pamannya yang digunakan bi Icih dan ibunya. Ia terus memperhatikan mereka, bi Icih membukakan pintu untuk ibunya. Ketika ibunya sudah masuk ke dalam mobil, bi Icih pun masuk ke mobil. Mesin mobil menyala, dan perlahan-lahan bergerak keluar dari halaman rumah. Anggi pun memperhatikan mobil itu berjalan meninggalkan rumah, dan semakin lama semakin tidak terlihat. Air mata mengalir dari matanya ketika melihat mobil itu menghilang di sebuah persimpangan. Anggi tersenyum, bibirnya terbuka perlahan-lahan. “selamat tinggal bu, aku sayang ibu.” Suaranya terdengar begitu pilu dan lemah, sosoknya pun mulai memudar perlahan-lahan.

- Copyright © Welcome To Blog Dendy002 - Devil Survivor 2 - Powered by Blogger -